Oleh Juniadin, ST.
Politik adalah subuah kata sakral yang kini
tak bermasyarakat lagi di telinga kita. Politik dan sejarah kini menjadi dua
kata yang sulit disandingkan, padahal kedua kata tersebut merupakan kolaborasi peradaban, saling mengaktualisasi.
Walaupun politik mampu mendamaikan sejarah tetapi sejarah tak mampu mendamaikan
politik atau mungkin sebaliknya. Tapi entahlah. Harusnya kita bijak memahami
ini.
Diskursus
persoalan politik nampaknya akan menjadi keniscayaan sejarah. Merujuk dalam
pengertian umum dengan interprestasi kita yang sederhana, dapatlah dikatakan
jika fenomena politik adalah sebuah perjalanan panjang yang bisa jadi menjadi
sebuah kehausan sejarah, mau tidak mau manusia memang telah ditakdirkan untuk bermesraan
dengan makhluk bernama politik,sebab sejak dulu sang politik selalu saja
menampakan wajah bemuka dua, tak jarang ia mewujud dalam perfomanya yang
menakutakan pun kadang bewujud manis. Karena itu, tidaklah salah jika seorang
filosof semacam Aristoteles mengatakan bahwasanya manusia makhluk zoon
politikon .
Anda
tahu sejarah? sejarah takkan tercipta katika makhluk yang bernama politik tak bersahabat, artinya sejarah takkan hidup ketika
rezim politik tak melegitimasi itu. Sejarah bukan hanya dongeng masa lalu tanpa
kearifan, sejarah adalah klimaks masa lalu yang hidup memiliki relevansi dengan
fenomena kekinian. Kalau kita menarik sejarah dalam ruang dan waktu kekinian,
maka diperluakan nuansa sinkronis dengan politik. Sebab untuk menciptakan irama
sejarah yang indah seperti petikan tali gitar maka sejarah harus mampu berdamai
dengan kata poltik bagaimanapun kisahnya .
Saat
kata politik bergandengan dengan sejarah, juga bergandengan dengan Islam, saat
benderanya berkibar di langit-langit pemikiran, saat suara pembaharu muslim
yang meneriakkan “politik Islam” melengking memasuki pendengaran generasi muda
muslim, mengubah pola pikir mereka, menghancurkan benteng sekat akibat dikotomi
Islam dan politik yang sesat, dan membangun ulang bangunan pemahaman Islam dari
reruntuhan pemikiran yang kelam, saat itulah bersahutan suara penolakan dari
manusia-manusia sekuler, dimana mereka mengatakan bahwa politik itu jauh dari
agama sejauh hitam dan putih. Tidak terbayangkan bila keduanya berpadu dalam diri
seseorang atau kelompok. Jadi, manusia selalu ada dua dua jenis, yaitu agamawan
atau politikus, dan kelompok pun ada dua macam yaitu kelompok agama dan
kelompok politik. Haram bagi seorang beragama terjun dalam ke dalam politik,
sebagaiman haramnya seorang politikus
mengurus agama, dan tidak ada dosa yang lebih besar daripada seorang
beragama atau kelompok agama yang terlibat dalam urusan politik.
Mengapa
kita harus membahas politik? Apa
hubungannya dengan eksistensi Islam? apa pengaruhnya terhadap sejarah ?
Ternyata kita lupa bahwa politik sangat
menentukan keutuhan sejarah, pengaruhnya sangat besar. Termaksud sejarah
Indonesia. Ada apa dengan sejarah Indonesia? Benarkah sejarah Indonesia
terbingkai dalam tinta kejujuran? tampa
konsipirasi? Mari kita simak!
Jika
dalam sejarah setiap gerakan perlawan terhadap imperilisme, disebut sebagai
gerakan nasionalisme. Sementara dalam sejarah,
Ulama dan Santri di Indonesia sebagai pelopor perlawanan terhadap
imperialisme, yang seharusnya Ulama dan
santri dituliskan dalam sejarah Indonesia sebagai pembangkit kesadaran nasional
Indonesia, ternyata tidak ditulis. Padahal Ulama dan santri menurut zamannya
adalah kelompok cendekiawan muslim. Kelompok inilah dalam catatan sejarah
sebagai pemimipin terdepan ide pengubah sejarah Nusantara Indonesia
Dalam
buku “Api Sejarah 1” karya Ahmad Mansyur
Suryanegara juga mengingatkan kita bahwa sesungguhnya istilah “ Nasional” awalnya
dimasyarkatkan oleh Central Sjerikat Islam dalam National Congres pertama di
bandung, 17-24 juni 1916. Namun dalam sejarah Indonesia akibat diartikan
nasionalisme bukan dari gerakan organisasi Islam maka istilah nasional seperti
disosialisasikan oleh PNI (Perserikatan
Nasional Indonesia) di Bandung 4 juli 1927. Padahal istilah “Indonesia”
dipelopori oleh Dr. Soekiman Wirdjosandjojo dengan mengubah indische vereniging menjadi Perhimpunan
Indonesia (PI), 1925 M di Belanda dan majalah Hindia Putra diganti menjadi
Indonesia Merdeka. Akibat Dr. Soekiman Wirdjosandjojo aktif dalam pimpinan
Partai Serikat Islam Indonesia, Partai Islam Indonesia, dan Partai Masyumi yang
kemudian tidak dituliskan sebagai pelopor pengguna pertama istilah “Indonesia”
dan “Indonesia Merdeka” dalam masa kebangkitan kesadaran Nasional Indonesia.
Demikian
juga , National Congres Central Sjerikat Islam Juga memelopori menuntut Indonesia
merdeka, atau pemerintah sendiri. Namun dalam sejarah Indonesia, ditulis
pelopornya adalah Bung Karno di depan pengadilan Kolonial di Bandung pada 1929
M, atau petisi Soetardjo yang menuntut Indonesi Merdeka. Anehnya tanggal jadi
Budi Utomo, 20 mei 1908, diperingati sebagai Hari kebangkitan Nasional. Padahal
sampai dengan kongres Budi Utomo di Solo 1928 M, menurut Mr. A.K Pringgdigjo
dalam “Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia”, Budi Utomo tetap menolak
pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia karena Sejatinya Budi Utomo tetap
mempertahankan djawanismenya.
Hari
Pendidikan Nasional pun diperingati
setiap tanggal 2 Mei, kabarnya diambil dari hari lahir Ki Hajar dewantara,
pendiri Taman Siswo, 1922 M, yang pada awal merupakan perkumpulan kebatinan
seloso kliwon. Kalau ini benar, mengapa bukan hari lahir K.H Ahmat Dahlan
pendiri Perserikatan Muhamadiyah, 18 November 1912 M, sepuluh tahun lebih awal
dari Taman Siswo, 1922, dan pengaruhnya jauh lebih meluas di seluruh kota di
Nusantara.
Akibat
penguasa politik, akibat deislamisasi penetuan Hardiknas, menjadikan K.H Ahmat
Dahlan dan perserikatan Muhamadiyah tidak dipilih sebagai pelopor pendidikan
Nasional. Sebenarnya masih banyak lagi upaya deislamisasi terhadap penentuan
peristiwa Nasional dan penulisan sejarah Indonesia. Begitu miris adanya.
Peristiwa sejarah yang terjadi
di tengah bangsa Indonesia sampai hari ini, hakikatnya merupakan kesinambungan
masa lalu yang terus dimurnikan penulisannya oleh ulama dan santri walapun belum
mampu terlegitimasi dan teinternalisasi pada kurikulum pendidikan Indonesia sebab
orang-orang diluar Islam sangat ngotot (dengan otoritasnya) mengambil peran
besar terhadap rekayasa politik dan rekayasa sejarah yang ada di bangsa kita.
Bertolt Brecht penyair Jerman perna berujar “ Buta
terburuk adalah buta politik. Orang yang
buta politik tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga
obat , semuanya bergantung keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti
politiknya, membusungkan dada dan berkoar ‘ Aku benci politik!’ Sungguh bodoh
dia, yang tak mengetahui bahwa karena
dia tidak mau tahu politik, akibatnya pelacuran, anak terlantar, perampokan,
dan yang terburuk, korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan
negeri”
Begitu
pun dengan nasib sejarah “wal tandhur
nafsun ma qaddamat li ghad” perhatikan sejarahmu
untuk hari esokmu (Q.S 59;18) dan Perhatikan politikmu untuk menjaga
sejarahmu. Wallahu alam.
0 Response to "Sejarah Vs. Politik"
Posting Komentar