DAKWAH, PANTANG MENYERAH
Pada
kondisi apapun dakwah tak boleh surut ke belakang. Ibarat pasukan Thariq bin
Ziyad yang gagah berani menghadang musuh, sementara kapal yang ditumpangi
nyaris habis dilalap api. Begitulah seharusnya kita menghadapi beratnya tantangan
dakwah. Manuver-manuver dakwah tak boleh diistirahatkan, karena gelombang
kebatilan yang melanda masyarakat begitu derasnya siang dan malam. Perseteruan
antara haq dan batil tidak akan pernah berhenti sampai hari kiamat, yang bila
salah satu kekuatan ini mengendor maka yang satunya akan mengalahkan yang lain.
Dan pemenangnya bisa haq kalau serangan yang dibangun oleh pendukung haq itu
kuat. Kebatilan bisa menjadi nomor satu bila pertahanan haq sangat lemah, oleh
karenanya dakwah harus gencar setiap saat dan tidak boleh berhenti atau
dihentikan.
Fenomena
lesu dakwah, telah Rasulullah saw antisipasi dalam sebuah haditsnya,”Setiap amal ada masa semangat dan masa
lemahnya. Barangsiapa saat masa lemah datang tetap dalam sunnah
(petunjukku) maka ia beruntung. Namun barangsiapa beralih pada selain itu
berarti ia telah celaka.” (HR. Ahmad)
Dan salah satu
penyebab lesu dakwah yang disinyalir al Qur’an adalah tarikan pesona dunia (dan
segala kenikmatan isinya). “Hai
orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan pada kalian,”
Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah! Kamu merasa berat dan ingin
tinggal di tempatmu? Apakah kalian puas dengan kehidupan dunia sebagai ganti
dari kehidupan akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan
dengan) kehidupan akhirat hanyalah sedikit.” (Qs At Taubah: 38)
Ibnu ‘Athiyah
menafsirkan ayat di atas, Apakah kalian rela dengan sedikitnya dunia dibanding
kepentingan akhirat dan kebahagiaannya yang lebih besar?”
Dan dalam
kenyataan, salah satu penyebab terbesar datangnya penyakit lemah dakwah karena
masalah dunia (ekonomi). Karena itu, terapi atau langkah pertama yang
mesti dilakukan agar kita terhindar dari penyakit ini adalah membersihkan dan
memperkokoh aqidah Islamiyah. Aqidah yang lurus dan benar akan memperbaiki dan
memperkokoh hubungan seorang hamba dengan Allah. Allah swt. menjadikan baginya
nur dan berjalan dengan nur itu. Dan Allah pun sesuai dengan janjinya akan
menuntunnya terhindar dari bujuk rayu setan dan sarana-sarana pendukungnya. “Sesungguhnya setan itu tak ada kekuasaannya
atas orang-orang beriman dan bertawakal pada Rabbnya.” (An-Nahl:99)
Dan aqidah
bukanlah sekumpulan dogma dan ajaran yang bersifat normatif. Bahkan sebaliknya,
aqidah adalah sumber gerak yang tak pernah habis. Imam Hasan Al Banna
menggambarkan salimah aqidah dengan energi yang mengerakkan seseorang untuk
selalu memelihara kesucian bathin (termasuk di dalamnya godaan dunia) dengan
selalu wudlu, melaksanakan shalat tepat waktu dan penuh kekhusu’an dan
memerangi gejolak hawa nafsunya dengan sungguh-sungguh serta berusaha menyemai
ruh agar selalu siap menerima perintah Allah. Inilah aqidah yang hidup dalam
setiap detak jantung, pada setiap kelip mata dan di seluruh helaan nafas. Mulai
kepala hingga kaki. Dari hati hingga lisan dan amalnya.
Dan aqidah yang
benar akan meluruskan niat. Lurusnya niat merupakan modal awal. Jika baik
awalnya (fondasi/dasarnya) akan kokoh bangunan yang tegak di atasnya.
Langkah kedua adalah
memeperjelas visi dan strategi dalam menempuh jalan dakwah. Berbeda dengan
jalan hidup lainnya, seorang da’I tatkala menempuh rute ini mestilah menyadari
dengan segala kegamblangan bahwa konsekwensi dan kewajiban yang akan selalu
menyertainya akan datang setiap saat. Dengan visi yang jelas, antisipasi atas
segala hal yang akan datang dapat presisi (tepat) dilakukan. Itulah yang
menyebabkan Rasulullah saw seperti dicuplik dari al Quran, “Katakanlah,” Inilah jalan(agama)ku, aku dan orang-orang beriman yang
mengikuti mengajak (kamu) pada Allah dengan hujjah yang nyata Maha Suci Allah
dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs. Yusuf : 108)
Visi yang yang
jelas akan mempermudah penerapan strategi. Dan strategi yang benar akan
menghantarkan seorang da’I mencapai tujuannya; mardhatillah. Dalam nasehat
terakhirnya (10 wasiat) Imam Hasan Al Banna menegaskan bahwa seorang muslim
hendaknya memperhatikan bahwa pekerjaan yang ada jauh lebih banyak ketimbang
waktu yang tersedia. Karena menyusun strategi yang pas mutlak dilakukan.
Dengan strtategi
yang telah dirancang lebih dulu, kita dapat mengantisipasi berbagai kendala
yang akan datang. Hingga kondisi laik
haraki (layak/dapat terus bergerak baik ruhiyan, fikriyan, jasadiyan atau
pun maliyan) tetap kita miliki.
Langkah ketiga menerapkan
disiplin dalam melaksanakan ibadah
mahdhah (khusus). Rangkaian ibadah yang kita lakukan 24 jam sepekan, mulai
dari berdo’a sejak bangun tidur, mambaca do’a makan hingga baca Al-quran dan
berdzikir, semuanya memberi pada kita benteng kokoh yang sulit ditembus hingga
konsistensi pelaksanaan amal tidak teranggur.
Rasulullah saw,
tatkala melakukan qiyamul lail di
malam hari, menggantinya 11 raka’at di siang hari. Umar bin Khattab
menginfakkan kebun yang melalaikannya shalat Ashar berjama’ah. Itu pula rahasia
mengapa Rasul dan para sahabat diwajibkan qiyamul
lail selama 12 bulan sebelum datang ayat terakhir (QS. Al-Muzzammil:20)
yang menurunkan status wajib menjadi sunnah.
Disiplin akan
melahirkan kebiasaan dan kebiasaan akan menjadikan si pemiliknya (sang da’i)
mendapat kemudahan dalam menunaikan amanah. Kebiasaan yang berlangsung lama
akan menjadi irama/gaya hidup seseorang.
Langkah keempat mencari
lingkungan yang shalih. Mu’adz bin Jabbal sering memanggil saudaranya dengan,
“duduklah bersama kami untuk mengimani hari kiamat.” Itu pula yang dilakukan
oleh Umar bin Abdul Aziz adalam majelis dzikirnya hingga tatkala mereka ingat
pada kematian, suara tangisan yang keluar seperti mereka sendirilah yang datang
mesti di kubur.
Lingkungan yang
shalih juga menjadi sarana transfer kebaikan. Abdullah Bakar Al-Masni, seorang
tabi’in, berkata,”Jika engkau lihat wajah
saudaramu cerah (banyak melakukan kebajikan) boleh jadi itu karena ibadah yang
engkau lakukan.” Iman memiliki kemampuan pengaruh pada sekelilingnya.
Dan langkah kelima berkaitan dengan kewajiban
mengatur skala prioritas. Perintah agar kita beribadah dengan tetap menjaga
kadarnya (tidak berlebihan) merupakan perwujudan dari sabda Rasul,”
Beribadahlah dengan kesederhanaan (jangan ngoyo), karena Allah tak pernah bosan
menerima ibadahmu, namun kamu dapat bosan dalam beribadah (jika selalu
memberat-memberatkan).”
Rasul pernah
terkejut mendapatkan seutas tali terikat pada dua tiang di masjidnya, ”Tali apa
ini?” tanya Rasul pada sahabatnya. Para sahabat menjelaskan, “Wahai Rasul, ini
adalah milik Zainab. Ia mengingatkan tali ini bila ia merasakan malas atau
lelah dalam shalatnya….” Rasul memerintahkan sahabat melepaskan tali tersebut
seraya bersabda, “Lakukanlah shalat selama kalian masih kuat melaksanakannya.
Namun jika marasa letih, hendaklah ia tidur.” Dalam mutiara kata seorang
ulama,” Mereka yang ingin mendapatan semuanya, takkan mendapatkan satu pun.”
Akhirnya, kiat
paling utama dalam menghindar dari penyakit da’wah adalah dengan tetap komitmen
pada jama’ah dan amal da’wah. Itulah yang disebut Musthafa Masyur,” Karena
da’wah ini akan tetap hidup dengan atau tanpa kita. Sedang kita akan mati tanpa
da’wah.”
Wallahu a’lam bish-shawab.
Buat
Saudara-saudarku
Para Aktifis
Dakwah Di Unissula
By : Ar-Ruhul-Jadid
Terus semangat akh. :)
BalasHapusmakasih infonya,,
BalasHapussangat bermanfaat,,