Selamat Datang Di Blog KAMMI UNISSULA

Kiat Menghindari Lesu dalam Dakwah


DAKWAH, PANTANG MENYERAH


Pada kondisi apapun dakwah tak boleh surut ke belakang. Ibarat pasukan Thariq bin Ziyad yang gagah berani menghadang musuh, sementara kapal yang ditumpangi nyaris habis dilalap api. Begitulah seharusnya kita menghadapi beratnya tantangan dakwah. Manuver-manuver dakwah tak boleh diistirahatkan, karena gelombang kebatilan yang melanda masyarakat begitu derasnya siang dan malam. Perseteruan antara haq dan batil tidak akan pernah berhenti sampai hari kiamat, yang bila salah satu kekuatan ini mengendor maka yang satunya akan mengalahkan yang lain. Dan pemenangnya bisa haq kalau serangan yang dibangun oleh pendukung haq itu kuat. Kebatilan bisa menjadi nomor satu bila pertahanan haq sangat lemah, oleh karenanya dakwah harus gencar setiap saat dan tidak boleh berhenti atau dihentikan.
Fenomena lesu dakwah, telah Rasulullah saw antisipasi dalam sebuah haditsnya,”Setiap amal ada masa semangat dan masa lemahnya. Barangsiapa saat masa lemah datang tetap dalam sunnah (petunjukku) maka ia beruntung. Namun barangsiapa beralih pada selain itu berarti ia telah celaka.” (HR. Ahmad)
Dan salah satu penyebab lesu dakwah yang disinyalir al Qur’an adalah tarikan pesona dunia (dan segala kenikmatan isinya). “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan pada kalian,” Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah! Kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kalian puas dengan kehidupan dunia sebagai ganti dari kehidupan akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan) kehidupan akhirat hanyalah sedikit.” (Qs At Taubah: 38)
Ibnu ‘Athiyah menafsirkan ayat di atas, Apakah kalian rela dengan sedikitnya dunia dibanding kepentingan akhirat dan kebahagiaannya yang lebih besar?”
Dan dalam kenyataan, salah satu penyebab terbesar datangnya penyakit lemah dakwah karena masalah dunia (ekonomi). Karena itu, terapi atau langkah pertama yang mesti dilakukan agar kita terhindar dari penyakit ini adalah membersihkan dan memperkokoh aqidah Islamiyah. Aqidah yang lurus dan benar akan memperbaiki dan memperkokoh hubungan seorang hamba dengan Allah. Allah swt. menjadikan baginya nur dan berjalan dengan nur itu. Dan Allah pun sesuai dengan janjinya akan menuntunnya terhindar dari bujuk rayu setan dan sarana-sarana pendukungnya. “Sesungguhnya setan itu tak ada kekuasaannya atas orang-orang beriman dan bertawakal pada Rabbnya.” (An-Nahl:99)
Dan aqidah bukanlah sekumpulan dogma dan ajaran yang bersifat normatif. Bahkan sebaliknya, aqidah adalah sumber gerak yang tak pernah habis. Imam Hasan Al Banna menggambarkan salimah aqidah dengan energi yang mengerakkan seseorang untuk selalu memelihara kesucian bathin (termasuk di dalamnya godaan dunia) dengan selalu wudlu, melaksanakan shalat tepat waktu dan penuh kekhusu’an dan memerangi gejolak hawa nafsunya dengan sungguh-sungguh serta berusaha menyemai ruh agar selalu siap menerima perintah Allah. Inilah aqidah yang hidup dalam setiap detak jantung, pada setiap kelip mata dan di seluruh helaan nafas. Mulai kepala hingga kaki. Dari hati hingga lisan dan amalnya.
Dan aqidah yang benar akan meluruskan niat. Lurusnya niat merupakan modal awal. Jika baik awalnya (fondasi/dasarnya) akan kokoh bangunan yang tegak di atasnya.
Langkah kedua adalah memeperjelas visi dan strategi dalam menempuh jalan dakwah. Berbeda dengan jalan hidup lainnya, seorang da’I tatkala menempuh rute ini mestilah menyadari dengan segala kegamblangan bahwa konsekwensi dan kewajiban yang akan selalu menyertainya akan datang setiap saat. Dengan visi yang jelas, antisipasi atas segala hal yang akan datang dapat presisi (tepat) dilakukan. Itulah yang menyebabkan Rasulullah saw seperti dicuplik dari al Quran, “Katakanlah,” Inilah jalan(agama)ku, aku dan orang-orang beriman yang mengikuti mengajak (kamu) pada Allah dengan hujjah yang nyata Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (Qs. Yusuf : 108)
Visi yang yang jelas akan mempermudah penerapan strategi. Dan strategi yang benar akan menghantarkan seorang da’I mencapai tujuannya; mardhatillah. Dalam nasehat terakhirnya (10 wasiat) Imam Hasan Al Banna menegaskan bahwa seorang muslim hendaknya memperhatikan bahwa pekerjaan yang ada jauh lebih banyak ketimbang waktu yang tersedia. Karena menyusun strategi yang pas mutlak dilakukan.
Dengan strtategi yang telah dirancang lebih dulu, kita dapat mengantisipasi berbagai kendala yang akan datang. Hingga kondisi laik haraki (layak/dapat terus bergerak baik ruhiyan, fikriyan, jasadiyan atau pun maliyan) tetap kita miliki.
Langkah ketiga menerapkan disiplin dalam melaksanakan ibadah mahdhah (khusus). Rangkaian ibadah yang kita lakukan 24 jam sepekan, mulai dari berdo’a sejak bangun tidur, mambaca do’a makan hingga baca Al-quran dan berdzikir, semuanya memberi pada kita benteng kokoh yang sulit ditembus hingga konsistensi pelaksanaan amal tidak teranggur.
Rasulullah saw, tatkala melakukan qiyamul lail di malam hari, menggantinya 11 raka’at di siang hari. Umar bin Khattab menginfakkan kebun yang melalaikannya shalat Ashar berjama’ah. Itu pula rahasia mengapa Rasul dan para sahabat diwajibkan qiyamul lail selama 12 bulan sebelum datang ayat terakhir (QS. Al-Muzzammil:20) yang menurunkan status wajib menjadi sunnah.
Disiplin akan melahirkan kebiasaan dan kebiasaan akan menjadikan si pemiliknya (sang da’i) mendapat kemudahan dalam menunaikan amanah. Kebiasaan yang berlangsung lama akan menjadi irama/gaya hidup seseorang.
Langkah keempat mencari lingkungan yang shalih. Mu’adz bin Jabbal sering memanggil saudaranya dengan, “duduklah bersama kami untuk mengimani hari kiamat.” Itu pula yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz adalam majelis dzikirnya hingga tatkala mereka ingat pada kematian, suara tangisan yang keluar seperti mereka sendirilah yang datang mesti di kubur.
Lingkungan yang shalih juga menjadi sarana transfer kebaikan. Abdullah Bakar Al-Masni, seorang tabi’in, berkata,”Jika engkau lihat wajah saudaramu cerah (banyak melakukan kebajikan) boleh jadi itu karena ibadah yang engkau lakukan.” Iman memiliki kemampuan pengaruh pada sekelilingnya.
Dan langkah kelima berkaitan dengan kewajiban mengatur skala prioritas. Perintah agar kita beribadah dengan tetap menjaga kadarnya (tidak berlebihan) merupakan perwujudan dari sabda Rasul,” Beribadahlah dengan kesederhanaan (jangan ngoyo), karena Allah tak pernah bosan menerima ibadahmu, namun kamu dapat bosan dalam beribadah (jika selalu memberat-memberatkan).”
Rasul pernah terkejut mendapatkan seutas tali terikat pada dua tiang di masjidnya, ”Tali apa ini?” tanya Rasul pada sahabatnya. Para sahabat menjelaskan, “Wahai Rasul, ini adalah milik Zainab. Ia mengingatkan tali ini bila ia merasakan malas atau lelah dalam shalatnya….” Rasul memerintahkan sahabat melepaskan tali tersebut seraya bersabda, “Lakukanlah shalat selama kalian masih kuat melaksanakannya. Namun jika marasa letih, hendaklah ia tidur.” Dalam mutiara kata seorang ulama,” Mereka yang ingin mendapatan semuanya, takkan  mendapatkan satu pun.”
Akhirnya, kiat paling utama dalam menghindar dari penyakit da’wah adalah dengan tetap komitmen pada jama’ah dan amal da’wah. Itulah yang disebut Musthafa Masyur,” Karena da’wah ini akan tetap hidup dengan atau tanpa kita. Sedang kita akan mati tanpa da’wah.”
Wallahu a’lam bish-shawab.


Buat Saudara-saudarku
Para Aktifis Dakwah Di Unissula

By : Ar-Ruhul-Jadid

2 Responses to "Kiat Menghindari Lesu dalam Dakwah"