Selamat Datang Di Blog KAMMI UNISSULA

Tafsir Muslim Negarawan



Istilah negarawan (statesman) merupakan istilah yang cukup populer. Dalam ensiklopedia dijelaskan, seorang negarawan biasanya merujuk pada politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) satu negara 
yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir di kancah politik nasional dan internasional (a statesman is usually a politician or other notable figure of state who has had a long and respected career in politics at national and international level). Tokoh yang berjasa (worthy) pada bangsa dan negara tentu merupakan tokoh yang mengabdikan pikiran dan tenaganya bagi kemajuan dan kemakmuran bangsanya.
Kepemimpinan politik yang negarawan tentu saja amat terkait dengan komitmen kebangsaan dan kenegaraan. Sikap tersebut menuntut para politisi untuk meminimalkan kepentingan pribadi dan kelompok. Sebaliknya, memaksimalkan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.

Negarawan adalah orang yang berjasa dan berkorban demi bangsa dan negaranya, tidak memandang apa latar belakang politiknya. Dalam konteks partai politik, idealnya ketika kader partai terpilih menjadi pejabat negara, maka berlakulah adagium, “Ketika tugas negara dimulai, maka kepentingan politik berakhir”.
Artinya, seorang pejabat negara harus berkonsentrasi untuk “mengurus negara” dengan benar, walaupun tanpa harus menghapuskan identitas latar belakang politiknya sama sekali. Karena, identitas politik seorang politisi (negarawan) senantiasa melekat padanya. Yang penting, seorang pemimpin politik yang negarawan adalah yang paham betul skala prioritas: mana yang lebih didahulukan—yaitu kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas.
Seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti, di mana para pengikutnya dapat meneladaninya dengan sepenuh hati. Seorang negarawan adalah yang memiliki watak yang baik dan senantiasa menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Sejak kemerdekaan dan sepanjang pengelolaan Republik Indonesia dilakukan, sesungguhnya telah banyak tercatat teladan-teladan pemimpin negarawan yang semestinya harus kita tiru dan amalkan. Terhadap para Bapak Bangsa (the Founding Fathers) dan segenap tokoh yang terlibat tidak langsung dalam kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, kita dapat mencatat adanya semangat mereka yang amat luar biasa di dalam mengorbankan kepentingan diri pribadi dan kelompok bagi berdirinya sebuah negara bangsa: Republik Indonesia. Para pendiri bangsa adalah negarawan-negarawan sejati, yang satu sama lain saling berkorban dan bekerjasama demi hadirnya sebuah bangsa yang lepas dari penjajahan.
Seorang pemimpin (politik) yang negarawan, memiliki karakter kepemimpinan yang kuat serta komitmen kebangsaan yang tegas; sederhana dan senantiasa berupaya menjadi teladan yang baik bagi yang dipimpin; mampu memberikan motivasi pada rakyat untuk senantiasa optimis (tidak putus asa) dan mampu memecahkan masalah; mampu mengayomi rakyat secara adil dan tidak sewenang-wenang; dan mampu mengembangkan kerjasama secara sinergis antarelemen politik (sosial) yang ada di dalam masyarakat yang majemuk.
Sudah semestinya sifat-sifat kenegarawanan para pemimpin kita terdahulu perlu diinternalisasikan ke dalam tiap diri para pemimpin—khususnya kepada kader KAMMI yang memiliki visi menjadi Muslim Negarawan. Bangsa ini butuh keteladanan dan sikap-sikap kenegarawanan yang lain.
Dalam Risalah Kaderisasi Manhaj 1427 H—dokumen konstitusi resmi—yang dirumuskan oleh Tim Kaderisasi KAMMI Pusat, ada beberapa poin penting yang menjadi titik tekan dalam mendesain kader. Poin penting tersebut adalah: KAMMI mampu menciptakan kader yang berorientasi pada profil muslim negarawan. Profil muslim negarawan dalam definisi risalah tersebut adalah kader KAMMI yang memiliki (1) basis ideologi Islam yang mengakar, (2) basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, (3) idealis dan konsisten, (4) berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa, serta (5) mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan.
Selain itu, muncul tiga hal yang merupakan syarat utama munculnya sosok Muslim Negarawan yang memiliki keberpihakan pada kebenaran dan terlatih dalam proses perjuangannya. Tiga hal itu adalah (1) mereka yang terlahir dari gerakan Islam yang tertata rapi (quwwah al-munashomat), (2) semangat keimanan yang kuat (ghirah qawiyah) dan (3) kompetensi yang tajam.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana mewujudkan visi kenegarawanan dalam konteks keislaman KAMMI yang khas, terkesan kaku dan tegas? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu elaborasi dalam konteks keindonesiaan. 
Politik Islam masa Orde Baru, tentu tujuannya adalah menghapus profil negarawan yang berbasis Islam. Saat itu, nasionalis selalu menjadi identitas pemimpin negeri ini, sementara muslim dijauhkan dari politik. Identitas “muslim” lalu terkesan tidak “mengindonesia.”
Padahal dalam praktek dulu, para pendiri bangsa mampu menghilangkan sekat itu. M Natsir misalnya, pemimpin Masyumi itu tetap bisa menjadi diplomat bagi Indonesia meski latar belakang keislamannya sangat kental. Demikian juga Wahid Hasyim—ayah KH Abdurrahman Wahid—pemimpin organisasi Nahdlatul Ulama, bisa menjadi negarawan sebagaimana ayahnya—KH Hasyim Asyari mendirikan NU dibalut semangat keindonesiaan. Lihat pula Mohammad Hatta, meski dibilang nasionalis, dia pernah akan membuat Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) meski dilarang Soekarno usai ”pisah kamar” dwitunggal itu.
Jadi, bagi KAMMI yang memiliki karakter keislaman yang khas, juga tidak ada masalah untuk mengindonesia. Hanya memang, harus terjadi pelunakan-pelunakan gagasan ketika bersentuhan dengan realitas. Tidak ada wilayah hitam atau putih. Sebetulnya kematangan berpikir, kepandaian bersiasat dan kecerdikan dalam menggandeng jaringan, itulah yang membuat seseorang menjadi negarawan.
Bagaimana dengan sikap personal kader KAMMI? Perubahan pertama adalah paradigma, cara berpikir. Menjadi negarawan jelas tidak berpikir sempit. Membuka diri terhadap perbedaan, membuat permakluman diiringi usaha perbaikan. Turunan kaderisasi KAMMI sebagai berikut:

Pertama,  memiliki basis ideologi Islam yang mengakar. Ideologi Islam ini bukan hanya masalah ide, tapi juga keyakinan. Tentu maksudnya adalah persoalan akidah. Tauhid yang benar menuntun kita kepada keyakinan bahwa kebenaran milik Allah yang Maha Benar. Basis ini penting karena pergolakan politik di alam nyata sangat dahsyat. Tak tahan godaan, maka larutlah dalam budaya kapitalis, serba boleh, serba halal dan menyesatkan.
Kedua,  memiliki basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan. Maksudnya tentu keluasan pengetahuan. Maksud kata ‘mapan’ adalah keyakinan tidak goyah, terhadap visi gerakan KAMMI. Hendaknya kader tidak hanya mempelajari turas Islam saja atau sebaliknya wacana sekuler yang cenderung kekirian. Buku-buku keislaman wajib dibaca setiap kader dan perbanyak forum diskusi sehingga akan terbentuk kader yang mempunyai pengetahuan luas, pemikiran kritis, namun masih alam koridor Islam. Sebenarnya hal itu sudah tercantum dalam misi kedua, yaitu menggali, mengembangkan, dan memantapkan potensi dakwah, intelektual, sosial, dan politik mahasiswa.
Ketiga,  idealis dan konsisten. Idealis dalam hal ini adalah meletakkan Islam sebagai solusi semua permasalahan. Bukan berarti idealis lalu menabrak realitas, bahkan bergerak di ruang sunyi sendirian. Gagasan pokok (ideal) dari KAMMI yang harus terus menerus ditabrakkan dengan kenyataan, sampai akhirnya terfalsifikasi. Terbukti siapa yang kuat dan siapa yang harus berevolusi. Termasuk gagasan keislaman KAMMI, benturkan dengan kenyataan. Selama, konsistensi menjadi landasan, maka gerakan ini akan tetap bertahan. Meski harus ada yang dikorbankan.
Keempat,  berkontribusi pada pemecahan permasalahan umat dan bangsa. Bagi kader yang memahami betul misi KAMMI yang ketiga, akan ada sebuah kecocokan di sini. Seorang kader dituntut untuk menjadi bagian dari solusi permasalahan, bukan bagian dari permasalahan itu sendiri. Kontribusi ini  berbasis keilmuan. Semua kader mahasiswa mendalami persoalan sesuai jurusannya. Di wilayah inilah, produk intelektual menjadi berguna.

Dalam tafsir karakter negarawan, seorang negarawan haruslah memiliki “basis keprofesian yang kuat”. Seorang negarawan haruslah memiliki kepakaran akan suatu ilmu/profesi. Ia harus cakap dalam profesi yang ia geluti. Ide besarnya adalah bahwa keprofesian ini hendaknya berorientasi pada pengabdian masyarakat. Keprofesian yang hendak dijalani akan memainkan fungsi dan peran sebagai pematangan nilai (pendidikan), transfer teknologi, serta perancangan produk.

Kelima, menjadi perekat komponen bangsa sebagai upaya perbaikan. Terjalin dan terpeliharanya sebuah komunikasi, solidaritas, dan kerjasama yang baik dengan masyarakat dalam upaya menyelesaikan masalah kebangsaan. Dengan demikian akan terbentuk sebuah perekat yang kuat antara KAMMI dan masyarakat. Dalam konteks antar gerakan, KAMMI harus mewacanakan  ukhuwah harakiyyah, yaitu konsep persaudaraan antara gerakan Islam.



0 Response to "Tafsir Muslim Negarawan"

Posting Komentar